I. DEFINISI
Appendicitis
adalah peradangan yang terjadi pada Appendix vermicularis, dan merupakan
penyebab abdomen akut yang paling sering pada anak-anak maupun dewasa.
Appendicitis akut merupakan kasus bedah emergensi yang paling sering ditemukan
pada anak-anak dan remaja.
II. INSIDENSI
Terdapat
sekitar 250.000 kasus appendicitis yang terjadi di Amerika Serikat setiap
tahunnya dan terutama terjadi pada anak usia 6-10 tahun. Appendicitis lebih
banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan perempuan dengan perbandingan 3:2.
Bangsa Caucasia lebih sering terkena dibandingkan dengan kelompok ras lainnya.
Appendicitis akut lebih sering terjadi selama musim panas.
Insidensi Appendicitis acuta di negara maju lebih tinggi daripada di negara
berkembang, tetapi
beberapa tahun terakhir angka kejadiannya menurun secara bermakna. Hal ini
disebabkan oleh meningkatnya penggunaan makanan berserat dalam menu
sehari-hari. Appendicitis dapat
ditemukan pada semua umur, hanya pada anak kurang dari satu tahun jarang
dilaporkan. Insidensi tertinggi pada kelompok umur 20-30 tahun, setelah itu menurun. Insidensi pada
laki-laki dan perempuan umumnya sebanding, kecuali pada umur 20-30
tahun,
insidensi lelaki lebih tinggi.
III. ETIOLOGI
Appendicitis
disebabkan karena adanya obstruksi pada lumen appendix sehingga terjadi kongseti
vaskuler, iskemik nekrosis dan akibatnya terjadi infeksi. Appendicitis umumnya
terjadi karena infeksi bakteri. Penyebab obstruksi yang paling sering adalah
fecolith. Fecolith ditemukan pada sekitar 20% anak dengan appendicitis.
Penyebab lain dari obstruksi appendiks meliputi:
1. Hiperplasia folikel lymphoid
2. Carcinoid atau tumor lainnya
3. Benda asing (pin, biji-bijian)
4. Kadang parasit
Penyebab
lain yang diduga menimbulkan Appendicitis adalah ulserasi mukosa appendix oleh
parasit E. histolytica. Berbagai spesies bakteri yang dapat
diisolasi pada pasien appendicitis yaitu:
Bakteri
aerob fakultatif
|
Bakteri
anaerob
|
· Escherichia coli
· Viridans streptococci
· Pseudomonas aeruginosa
· Enterococcus
|
·
Bacteroides
fragilis
·
Peptostreptococcus
micros
·
Bilophila
species
·
Lactobacillus
species
|
IV. PATOGENESIS
Appendicitis terjadi dari proses inflamasi ringan hingga
perforasi, khas dalam 24-36 jam setelah munculnya gejala, kemudian diikuti
dengan pembentukkan abscess setelah 2-3 hari.
Appendicitis dapat terjadi karena berbagai macam
penyebab, antara lain obstruksi oleh fecalith, gallstone, tumor, atau bahkan
oleh cacing (Oxyurus vermicularis), akan tetapi paling sering disebabkan
obstruksi oleh fecalith dan kemudian diikuti oleh proses peradangan. Hasil
observasi epidemiologi juga menyebutkan bahwa obstruksi fecalith adalah
penyebab terbesar, yaitu sekitar 20% pada ank dengan appendicitis akut dan
30-40% pada anak dengan perforasi appendiks. Hiperplasia folikel limfoid
appendiks juga dapat menyababkan obstruksi lumen. Insidensi terjadinya
appendicitis berhubungan dengan jumlah jaringan limfoid yang hyperplasia.
Penyebab dari reaksi jaringan limfatik baik lokal atau general misalnya akibat
infeksi Yersinia, Salmonella, dan Shigella; atau akibat invasi parasit seperti
Entamoeba, Strongyloides, Enterobius vermicularis, Schistosoma, atau Ascaris.
Appendicitis juga dapat diakibatkan oleh infeksi virus enteric atau sistemik,
seperti measles, chicken pox, dan cytomegalovirus. Pasien dengan cyctic
fibrosis memiliki peningkatan insidensi appendicitis akibat perubahan pada
kelenjar yang mensekresi mucus. Carcinoid tumor juga dapat mengakibatkan
obstruksi appendiks, khususnya jika tumor berlokasi di 1/3
proksimal. Selama lebih dari 200 tahun, benda asaning seperti pin, biji
sayuran, dan batu cherry dilibatkan dalam terjadinya appendicitis. Trauma,
stress psikologis, dan herediter juga mempengaruhi terjadinya appendicitis.
Awalnya, pasien akan merasa gejala gastrointestinal
ringan seperti berkurangnya nafsu makan, perubahan kebiasaan BAB yang minimal,
dan kesalahan pencernaan. Anoreksia berperan penting pada
diagnosis appendicitis, khususnya pada anak-anak.
Distensi appendiks menyebabkan perangsangan serabut saraf
visceral dan dipersepsikan sebagai nyeri di daerah periumbilical. Nyeri awal
ini bersifat nyeri dalam, tumpul, berlokasi di dermatom Th 10. Adanya distensi
yang semakin bertambah menyebabkan mual dan muntah, dalam beberapa jam setelah
nyeri. Jika mual muntah timbul lebih dulu sebelum nyeri, dapat dipikirkan
diagnosis lain.
Appendiks yang obstruksi merupakan tempat yang baik bagi
bakteri untuk berkembang biak. Seiring dengan peningkatan tekanan intraluminal,
terjadi gangguan aliran limf, terjadi oedem yang lebih hebat. Akhirnya
peningkatan tekanan menyebabkan obstruksi vena, yang mengarah pada iskemik
jaringan, infark, dan gangrene. Setelah itu, terjadi invasi bakteri ke dinding
appendiks; diikuti demam, takikardi, dan leukositosis akibat kensekuensi
pelepasan mediator inflamasi dari jaringan yang iskemik. Saat eksudat inflamasi
dari dinding appendiks berhubungan dengan peritoneum parietale, serabut saraf
somatic akan teraktivasi dan nyeri akan dirasakan lokal pada lokasi appendiks,
khususnya di titik Mc Burney’s. Nyeri jarang timbul hanya pada kuadran kanan
bawah tanpa didahului nyeri visceral sebelumnya. Pada appendiks retrocaecal
atau pelvic, nyeri somatic biasanya tertunda karena eksudat inflamasi tidak
mengenai peritoneum parietale sampai saat terjadinya rupture dan penyebaran
infeksi. Nyeri pada appendiks retrocaecal dapat muncul di punggung atau
pinggang. Appendiks pelvic yang terletak dekat ureter atau pembuluh darah
testis dapat menyebabkan peningkatan frekuensi BAK, nyeri pada testis, atau
keduanya. Inflamasi ureter atau vesica urinaria pada appendicitis dapat
menyebabkan nyeri saat berkemih, atau nyeri seperti terjadi retensi urine.
Perforasi appendiks akan menyebabkan terjadinya abscess
lokal atau peritonitis umum. Proses ini tergantung pada kecepatan progresivitas
ke arah perforasi dan kemampuan pasien berespon terhadap adanya perforasi.
Tanda perforasi appendiks mencakup peningkatan suhu melebihi 38.6oC,
leukositosis > 14.000, dan gejala peritonitis pada pemeriksaan fisik. Pasien
dapat tidak bergejala sebelum terjadi perforasi, dan gejala dapat menetap
hingga > 48 jam tanpa perforasi. Secara umum, semakin lama gejala
berhubungan dengan peningkatan risiko perforasi. Peritonitis difus lebih sering
dijumpai pada bayi karena tidak adanya jaringan lemak omentum. Anak yang lebih
tua atau remaja lebih memungkinkan untuk terjadinya abscess yang dapat
diketahui dari adanya massa pada pemeriksaan fisik.
Konstipasi jarang dijumpai tetapi tenesmus sering
dijumpai. Diare sering didapatkan pada anak-anak, dalam jangka waktu sebentar,
akibat iritasi ileum terminal atau caecum. Adanya diare dapat mengindikasikan
adanya abscess pelvis.
V. GAMBARAN
KLINIS
Appendicitis
dapat mengenai semua kelompok usia. Meskipun sangat jarang pada neonatus dan
bayi, appendicitis akut kadang-kadang dapat terjadi dan diagnosis appendicitis
jauh lebih sulit dan kadang tertunda. Nyeri merupakan gejala yang pertama kali
muncul. Seringkali dirasakan sebagai nyeri tumpul, nyeri di periumbilikal yang
samar-samar, tapi seiring dengan waktu akan berlokasi di abdomen kanan bawah.
Terjadi peningkatan nyeri yang gradual seiring dengan perkembangan penyakit.
Variasi
lokasi anatomis appendiks dapat mengubah gejala nyeri yang terjadi. Pada
anak-anak, dengan letak appendiks yang retrocecal atau pelvis, nyeri dapat
mulai terjadi di kuadran kanan bawah tanpa diawali nyeri pada periumbilikus.
Nyeri pada flank, nyeri punggung, dan nyeri alih pada testis juga merupakan
gejala yang umum pada anak dengan appendicitis retrocecal arau pelvis.
Jika
inflamasi dari appendiks terjadi di dekat ureter atau bladder, gejal dapat
berupa nyeri saat kencing atau perasaan tidak nyaman pada saat menahan kencing
dan distensi kandung kemih.
Anorexia,
mual, dan muntah biasanya terjadi dalam beberapa jam setelah onset terjadinya
nyeri. Muntah biasanya ringan. Diare dapat terjadi akibat infeksi sekunder dan
iritasi pada ileum terminal atau caecum. Gejala gastrointestinal yang berat
yang terjadi sebelum onset nyeri biasanya mengindikasikan diagnosis selain
appendicitis. Meskipun demikian, keluhan GIT ringan seperti indigesti atau
perubahan bowel habit dapat terjadi pada anak dengan appendicitis.
Pada
appendicitis tanpa komplikasi biasanya demam ringan (37,5 -38,5 0
C).
Jika suhu tubuh diatas 38,6 0 C, menandakan terjadi perforasi. Anak
dengan appendicitis kadang-kadang berjalan pincang pada kaki kanan. Karena saat
menekan dengan paha kanan akan menekan Caecum hingga isi Caecum berkurang atau
kosong. Bising usus meskipun bukan tanda yang dapat dipercaya dapat
menurun atau menghilang.
Anak
dengan appendicitis biasanya menghindari diri untuk bergerak dan cenderung
untuk berbaring di tempat tidur dengan kadang-kadang lutut diflexikan.
Anak yang menggeliat dan berteriak-teriak jarang menderita appendicitis,
kecuali pada anak dengan appendicitis retrocaecal, nyeri seperti kolik renal
akibat perangsangan ureter.
0 komentar:
Posting Komentar