Definisi
Diabetes
melitus adalah gangguan kronis metabolisme lemak, karbohidrat dan protein.
Insufisiensi relatif atau absolut dalam respons sekretorik insulin, yang
diterjemahkan menjadi gangguan pemakaian karbohifrat, merupakan gambaran khas
pada diabetes melitus, demikian juga hiperglikemia yang terjadi.
Pada diabetes tipe ini, faktor genetik
memegang peran lebih penitng dibandingkan dengan pada diabetes tipe 1A. Di
antara kembar identik, angka concordance (munculnya sifat bawaan pada kedua
pasangan anak kembar) adalah 60% sampai 80%. Pada aggota keluarga dekat dari
pasien diabetes tipe 2 (dan pada kembar non identik) risiko menderita penyakit
ini lima hingga sepuluh kali lebih besar daripada subjek (dengan usia dan berat
yang sama) yang tidak memiliki riwayat penyakit dalam keluarganya.
Etiologi
Dua
defek metabolik yang menandai diabetes tipe 2 adalah gangguan sekresi insulin
pada sel beta
dan ketidakmampuan jaringan perifer berespons terhadap insulin. Peran defek
sekresi, dibandingkan dengan resistensi insulin, masih terus diperdebatkan dan
mungkin sebenarnya berbeda-beda pada pasien yang berbeda dan pada stadium
penyakit yang berlainan
Patomekanisme
a. Gangguan
Sekresi Insulin pada sel Beta
Pada awal
perjalanan diabetes tipe 2, sekresi insulin terlihat normal dan kadar insulin
plasma tidak berkurang. Namun, secara kolektif, hal ini dan pengamatan lain
mengisyaratkan adanya gangguan sekresi insulin yang ditemukan pada awal
diabetes tipe 2, bukan defisiensi sintesis insulin. Perjalanan penyakit
selanjutnya terjadi defisiensi absolut insulin yang ringan sampai sedang.
Kemudian terjadi kehilangan 20% – 50% sel beta, tetapi jumlah ini belum dapat
menyebabkan kegagalan dalam sekresi insulin yang dirangsang oleh glukosa.
Namun, yang terjadi adalah adanya gangguan dalam pengenalan glukosa oleh sel
beta.Hilangnya sinyal pengenalan glukosa oleh sel beta dapat dijelaskan dengan
dua mekanisme:
1)
Adanya
peningkatan UCP2 (uncoupling protein 2) di sel beta. Orang dengan
diabetes mellitus tipe 2 yang dapat menyebabkan hilangnya sinyal glukosa yang
khas pada penyakit. UCP2 adalah suatu protein mitokondria yang memisahkan
respirasi biokimia dari fosforilasi oksidatif (sehingga menghasilkan panas,
bukan ATP) yang kemudian diekspresikan dalam sel beta. Kadar UCP2 intrasel yang
tinggi akan melemahkan respon insulin sedangkan kadar yang rendah akan
memperkuatnya.
2) Adanya
pengendapan amiloid di islet. Pada 90% pasien diabetes tipe 2 ditemukan endapan
amiloid pada autopsi. Amilin yang merupakan komponen utama amiloid yang
mengendap ini secara normal dihasilkan oleh sel beta pankreas dan disekresikan
dengan insulin sebagai respons terhadap pemberian glukosa. Namun pada jika
kemudian terjadi resistensi insulin yang menyebabkan hiperinsulinemia, maka
akan berdampak pada peningkatan produksi amiloid di islet. Amilin yang
mengelilingi sel beta menyebabkan sel beta agak refrakter dalam menerima sinyal
glukosa atau dengan kata lain amiloid bersifat toksik bagi sel beta sehingga
mungkin berperan menyebabkan kerusakan sel beta.(2)
b. Obesitas
Obesitas dapat pula menjadi penyebab terjadinya diabetes mellitus tipe 2 ini dikarenakan obesitas ini dapat meningkatkan resistansi insulin ke suatu tahap yang tidak lagi dapat dikompensasi dengan meningkatkan produksi insulin. Konsep resistansi insulin adalah sebagai berikut : pada awalnya tampak terdapat resistensi dari sel-sel sasaran terhadap kerja insulin. Insulin mula-mula mengikat dirinya kepada reseptor-reseptor permukaan sel tertentu, kemudian terjadi reaksi intraselluler yang meningkatkan transport glukosa menembus membran sel. Pada pasien dengan diabetes tipe 2 terdapat kelainan dalam pengikatan insulin dengan reseptor. Hal ini dapat disebabkan oleh berkurangnya jumlah tempat reseptor yang responsif insulin pada membran sel. Akibatnya terjadi penggabungan abnormal antara komplek reseptor insulin dengan system transport glukosa.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa resistensi insulin yang berkaitan erat
dengan obesitas menimbulkan stres berlebihan pada sel beta yang akhirnya
mengalami kegagalan dalam menghadapi peningkatan kebutuhan insulin. (2)
Diabetes yang jauh lebih besar yaitu 86-138%, yang disebabkan oleh
karena:
·
Faktor demografi: 1). Jumlah penduduk meningkat;
2).Penduduk usia lanjut bertambah banyak; 3). Urbanisasi makin tak terkendali
·
Gaya hidup yang kebarat-baratan: 1). Penghasilan
perkapita tinggi; 2). Restoran siap santap; 3). Teknologi canggih menimbulkan
sedentary life,kurang gerak badan.
·
Berkuranggnya penyakit infeksi dan kurang gizi
·
Meningkatnya pelayanan kesehatan hingga umur
pasien diabetes menjadi lebih panjang
Gejala Klinis
Manifestasi klinis diabetes mellitus dikaitkan dengan konsekuensi
metabolic defisiensi insulin. Pasien dengan defisiensi insulin tidak dapat mempertahankan
kadar glukosa plasma pusa yang normal, atau toleransi glukosa setelah makan
karbhidrat. Jika hiperglikemianya berat dan melebihi ambang ginjal untuk zat
ini, maka timbul glikosuria. Glikosuriaini akan mengakibatkan dieresis osmotic
yang meningkatkan pengeluaran urine (poliuria) dan timbul rasa haus
(polidipsia). Karena glukosa hilang bersama urine, maka pasien mengalami
keseimbangan kalori negative dan berat badan berkurang. Rasa lapar yang semakin
besar (polifagia) mungkin akan timbul sebagai akibat kehilangan kalori. Pasien
mengeluh lelah dan mengantuk .(10)
Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis DM harus didasarkan atas pemeriksaan konsentrasi glukosa darah.
Dalam menentukan diagnosis DM harus diperhatikan asal bahan darah yang diambil
dan cara pemeriksaan yang dipakai. Untuk diagnosis, pemeriksaan yang dianjurkan
adalah pemeriksaan glukosa dengan cara enzimatik dengan bahan darah plasma
vena. Ada perbedaan antara uji diagnostic DM dan pemeriksaan penyaring. Uji
diagnostic DM dilakukan pada mereka yang menunjukkan gejala dan tanda DM ,
sedangkan pemeriksaan penyaring bertujuan untuk mengidentifikasi mereka yang
bergejala, yang mempunyai risiko DM.
PERKENI membagi alur diagnosis DM menjadi 2 bagian besar berdasarkan ada
tidaknya gejal khas DM. gejala khas DM terdiri dari poliuria,
polidipsia,polifagia, dan berat badan menurun tanpa sebab yang jelas, sedangkan
gejal tidak khas DM diantaranya lemas, kesemutan, luka yang sulit sembuh,
gatal, mata kabur, disfungsi ereksi (pada pria) dan pruritus vulva (wanita).
Apabila ditemukan gejal khas DM, pemeriksaan glukosa darah abnormal satu kali
saja sudah cukup untuk menegakkan diagnosis, namun apabila tidak ditemukan
gejala khas DM, maka diperlukan dua kali pemeriksaan glukosa darah abnormal.
Tabel kriteria diagnosis DM
|
1.Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu ≥200 mg/dl
Glukosa plasma sewaktu
merupakan hasil pemeriksaan pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa
memperhatikan waktu makan terakhir
|
2.atau Gejala klasik DM +glukosa
plasma puasa ≥126 mg/dl
Puasa diartikan pasien tidak
mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam
|
3.Glukosa plasma 2 jam pada TTGO ≥200 mg/dl
TTGO dilakukan dengan standar
WHO, menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75 gram glukosa anhidrus
yang dilarutkan ke dalam air
|
Pemeriksaan penyaring dikerjakan pada semua individu dewasa dengan Indeks
Massa Tubuh (IMT) ≥25 kg/m2 dengan faktor risiko, yaitu aktivitas
fisik yang kurang, riwayat keluraga yang menderita DM pada keturunan pertama,
masuk ke dalam kelompok etnik risiko tinggi (African American, Latino, Native
American, Asian American, Pacific Islander), wanita dengan riwayat melahirkan
bayi ≥4 kg, hipertensi.
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan
diabetes mellitus didasarkan pada rencana diet, latihan fisik dan pengaturan
aktivitas fisik. Selain itu terdapat pula pola pengobatan untuk diabetes
mellitus tipe 2 antara lain :
a. Target
Glikemik
Penelitian UKPDS (United Kingdom Prospective
Diabetes Study) dan Studi Kumamoto
pada pasien DM tipe 2 menunjukkan target glikemik terapi DM tipe 2 yang menghasilkan perbaikan prognosis
jangka panjang. Hasil penelitian klinik
dan epidemiologik menunjukkan bahwa dengan menurunkan kadar glukosa maka kejadian komplikasi mikrovaskuler dan
neuropati akan menurun. Target kadar
glukosa darah yang terbaik berdasarkan pemeriksaan harian dan A1C sebagai index glikemia khronik belum diteliti
secara sistematik. Tetapi hasil penelitian
DCCT (pada pasien diabetes tipe 1) dan UKPDS (pada pasien diabetes tipe 2) mengarahkan gol pencapaian kadar
glikemik pada rentang nondiabetik. Akan tetapi pada kedua studi tersebut
bahkan pada grup pasien yang mendapat
pengobatan intensif ,kadar A1C tidak dapat dipertahankan pada rentang nondiabetik. Studi tersebut mencapai
kadar rata-rata A1C ~7% yang
merupakan 4SD diatas rata-rata non diabetik. Target glikemik yang paling baru adalah dari ADA (American Diabetes Association) yang dibuat berdasarkan kepraktisan
dan projeksi penurunan kejadian
komplikasi , yaitu A1C <7%. Konsensus
ini menyatakan bahwa kadar A1C ~ 7% harus dianggap sebagai alarm untuk memulai atau mengubah terapi dengan
gol A1C < 7%. Para ahli juga
menyadari bahwa gol ini mungkin tidak tepat atau tidak praktis untuk pasien tertentu, dan penilaian klinik dengan
mempertimbangkan potensi keuntungan dan kerugian dari regimen yang lebih
intensif perlu diaplikasikan pada setiap
pasien. Faktor-faktor seperti harapan hidup, risiko hipoglikemia dan adanya CVD perlu menjadi pertimbangan pada setiap
pasien sebelum memberikan regimen
terapi yang lebihintensif.
b.
Metformin
Efek utama metformin adalah menurunkan “hepatic glucose output” dan menurunkan kadar glukosa puasa. Monoterapi dengan
metformin dapat menurunkan A1C
sebesar ~ 1,5%. Pada umumnya metformin dapat ditolerir oleh pasien. Efek yang tidak diinginkan yang
paling sering dikeluhkan adalah keluhan
gastrointestinal. Monoterapi metformin jarang disertai dengan hipoglikemia; dan metformin dapat digunakan secara
aman tanpa menyebabkan hipoglikemia pada prediabetes. Efek nonglikemik
yang penting dari metformin adalah tidak
menyebabkan penambahan berat badan atau menyebabkan panurunan berat badan sedikit.Disfungsi ginjal merupakan kontraindikasi untuk pemakaian metformin karena
akan meningkatkan risiko asidosis laktik,komplikasi ini jarang bersifat fatal.
c.
Sulfonilurea
Sulfonilurea menurunkan kadar glukosa darah
dengan cara meningkatkan sekresi
insulin.Dari segi efikasinya, sulfonylurea tidak berbeda dengan metformin, yaitu menurunkan A1C ~ 1,5%. Efek yang
tidak diinginkan adalah hipoglikemia
yang bisa berlangsung lama dan mengancam hidup. Episode hipoglikemia yang berat lebih sering terjadi pada
orang tua. Risiko hipoglikemia lebih besar dengan chlorpropamide dan
glibenklamid dibandingkan dengan sulfonylurea
generasi kedua yang lain. Sulfonilurea sering menyebabkan penambahan
berat badan ~ 2 kg. Kelebihan sulfonylurea dalam memperbaiki kadar glukosa darah sudah maksimal pada setengah
dosis maksimal , dan dosis yang
lebih tinggi leih baik untuk dihindari.
d.
Glinide
Seperti halnya sulfonylurea, glinide menstimulasi
sekresi insulin akan tetapi golongan
ini memiliki waktu paruh dalam sirkulasi yang lebih pendek dari pada sulfonylurea dan harus diminum dalam frekuensi
yang lebih sering. Golongan glinide
dapat merunkan A1C sebesar ~ 1,5 % Risiko peningkatan berat badan pada glinide menyerupai sulfonylurea,
akan tetapi risiko hipoglikemia nya
lebih kecil.
e.
Penghambat α
glukosidase
Penghambat α
glukosidase menghambat pemecahan polisakarida menjadi monosakarida. Efek obat
ini dapat menyebabkan peningkatan kadar glukosa dalam darah. Monoterapi
dengan penghambat α-glukosidase tidak
mengakibatkan hipoglikemia. Golongan ini tidak seefektif metformin dan
sulfonylurea dalam menurunkan kadar glukosa
darah; A1C dapat turun sebesar 0,5 – 0,8 %. Meningkatnya karbohidrat di colon mengakibatkan meningkatnya produksi
gas dan keluhan gastrointestinal. Pada
penelitian klinik, 25-45% partisipan menghentikan
pemakaian obat ini karena efek samping tersebut.
f.
Insulin
Insulin merupakan obat tertua iuntuk diabetes,
paling efektif dalam menurunkan
kadar glukosa darah. Bila digunakan dalam dosis adekuat, insulin dapat menurunkan setiap kadar A1C sampai mendekati
target terapeutik. Tidak seperti obat
antihiperglikemik lain, insulin tidak memiliki dosis maximal. Terapi insulin berkaitan dengan peningkatan berat badan
dan hipoglikemik. (11)
Pencegahan
Dalam menyelenggarakan upaya
pencegahan ini diperlukan satu startegi yang efisien dan efektif untuk
mendapatkan hasil yang maksimal. Seperti juga pada pencegahan penyakit menular,
ada 2 macam strategi untuk dijalankan, antara lain :
a.
Pendekatan
populasi, yaitu semua upaya yang bertujuan untuk mengubah perilaku masyarakat
umum. Yang dimaksud adalah mendidik masyarakat agar menjalankan cara hidup
sehat dan menghindari cara hidup berisiko.
b.
Pendekatan
individu berisiko tinggi. Semua upaya pencegahan yang dilakukan pada individu
yang berisiko untuk menderita diabetes pada suatu saat kelak.
c.
Pencegahan
primer.Yang menjadi sasaran pada pola pencegahan primer
adalah orang yang belum sakit, artinya mereka yang masih sehat, sehingga
cakupannya menjadi sangat luas. Yang bertanggung jawab bukan hanyaprofesi
tetapi seluruh masyarakat termasuk pemerintah. Pola pencegahan dapat berupa
promosi kesehatan, kampanye pola makan sehat dan yang lainnya.
d.
Pencegahan
sekunder. Untuk mencegah terjadinya
komplikasi dengan jumlah populasi yang otomatis lebih kecil yaitu pasien
diabetes yang sudah diketahui dan sudah berobat.
e.
Pencegahan
tersier. Upaya mencegah komplikasi
dengan kecacatan.(3)
0 komentar:
Posting Komentar