Sabtu, 11 Mei 2013

Diabetes Mellitus type II

Diposting oleh Rizki




   Definisi
Diabetes melitus adalah gangguan kronis metabolisme lemak, karbohidrat dan protein. Insufisiensi relatif atau absolut dalam respons sekretorik insulin, yang diterjemahkan menjadi gangguan pemakaian karbohifrat, merupakan gambaran khas pada diabetes melitus, demikian juga hiperglikemia yang terjadi.
         Pada diabetes tipe ini, faktor genetik memegang peran lebih penitng dibandingkan dengan pada diabetes tipe 1A. Di antara kembar identik, angka concordance (munculnya sifat bawaan pada kedua pasangan anak kembar) adalah 60% sampai 80%. Pada aggota keluarga dekat dari pasien diabetes tipe 2 (dan pada kembar non identik) risiko menderita penyakit ini lima hingga sepuluh kali lebih besar daripada subjek (dengan usia dan berat yang sama) yang tidak memiliki riwayat penyakit dalam keluarganya.


   Etiologi
      Dua defek metabolik yang menandai diabetes tipe 2 adalah gangguan sekresi insulin pada sel beta dan ketidakmampuan jaringan perifer berespons terhadap insulin. Peran defek sekresi, dibandingkan dengan resistensi insulin, masih terus diperdebatkan dan mungkin sebenarnya berbeda-beda pada pasien yang berbeda dan pada stadium penyakit yang berlainan

   Patomekanisme
a.       Gangguan Sekresi Insulin pada sel Beta
Pada awal perjalanan diabetes tipe 2, sekresi insulin terlihat normal dan kadar insulin plasma tidak berkurang. Namun, secara kolektif, hal ini dan pengamatan lain mengisyaratkan adanya gangguan sekresi insulin yang ditemukan pada awal diabetes tipe 2, bukan defisiensi sintesis insulin. Perjalanan penyakit selanjutnya terjadi defisiensi absolut insulin yang ringan sampai sedang. Kemudian terjadi kehilangan 20% – 50% sel beta, tetapi jumlah ini belum dapat menyebabkan kegagalan dalam sekresi insulin yang dirangsang oleh glukosa. Namun, yang terjadi adalah adanya gangguan dalam pengenalan glukosa oleh sel beta.Hilangnya sinyal pengenalan glukosa oleh sel beta dapat dijelaskan dengan dua mekanisme:
1)    Adanya peningkatan UCP2 (uncoupling protein 2) di sel beta. Orang dengan diabetes mellitus tipe 2 yang dapat menyebabkan hilangnya sinyal glukosa yang khas pada penyakit. UCP2 adalah suatu protein mitokondria yang memisahkan respirasi biokimia dari fosforilasi oksidatif (sehingga menghasilkan panas, bukan ATP) yang kemudian diekspresikan dalam sel beta. Kadar UCP2 intrasel yang tinggi akan melemahkan respon insulin sedangkan kadar yang rendah akan memperkuatnya.
2)      Adanya pengendapan amiloid di islet. Pada 90% pasien diabetes tipe 2 ditemukan endapan amiloid pada autopsi. Amilin yang merupakan komponen utama amiloid yang mengendap ini secara normal dihasilkan oleh sel beta pankreas dan disekresikan dengan insulin sebagai respons terhadap pemberian glukosa. Namun pada jika kemudian terjadi resistensi insulin yang menyebabkan hiperinsulinemia, maka akan berdampak pada peningkatan produksi amiloid di islet. Amilin yang mengelilingi sel beta menyebabkan sel beta agak refrakter dalam menerima sinyal glukosa atau dengan kata lain amiloid bersifat toksik bagi sel beta sehingga mungkin berperan menyebabkan kerusakan sel beta.(2)

b.      Obesitas
Obesitas dapat pula menjadi penyebab terjadinya diabetes mellitus tipe 2 ini dikarenakan obesitas ini dapat meningkatkan resistansi insulin ke suatu tahap yang tidak lagi dapat dikompensasi dengan meningkatkan produksi insulin. Konsep resistansi insulin adalah sebagai berikut : pada awalnya tampak terdapat resistensi dari sel-sel sasaran terhadap kerja insulin. Insulin mula-mula mengikat dirinya kepada reseptor-reseptor permukaan sel tertentu, kemudian terjadi reaksi intraselluler yang meningkatkan transport glukosa menembus membran sel. Pada pasien dengan diabetes tipe 2 terdapat kelainan dalam pengikatan insulin dengan reseptor. Hal ini dapat disebabkan oleh berkurangnya jumlah tempat reseptor yang responsif insulin pada membran sel. Akibatnya terjadi penggabungan abnormal antara komplek reseptor insulin dengan system transport glukosa.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa resistensi insulin yang berkaitan erat dengan obesitas menimbulkan stres berlebihan pada sel beta yang akhirnya mengalami kegagalan dalam menghadapi peningkatan kebutuhan insulin. (2)
Diabetes yang jauh lebih besar yaitu 86-138%, yang disebabkan oleh karena:
·         Faktor demografi: 1). Jumlah penduduk meningkat; 2).Penduduk usia lanjut bertambah banyak; 3). Urbanisasi makin tak terkendali
·         Gaya hidup yang kebarat-baratan: 1). Penghasilan perkapita tinggi; 2). Restoran siap santap; 3). Teknologi canggih menimbulkan sedentary life,kurang gerak badan.
·         Berkuranggnya penyakit infeksi dan kurang gizi
·         Meningkatnya pelayanan kesehatan hingga umur pasien diabetes menjadi lebih panjang
 
   Gejala Klinis
Manifestasi klinis diabetes mellitus dikaitkan dengan konsekuensi metabolic defisiensi insulin. Pasien dengan defisiensi insulin tidak dapat mempertahankan kadar glukosa plasma pusa yang normal, atau toleransi glukosa setelah makan karbhidrat. Jika hiperglikemianya berat dan melebihi ambang ginjal untuk zat ini, maka timbul glikosuria. Glikosuriaini akan mengakibatkan dieresis osmotic yang meningkatkan pengeluaran urine (poliuria) dan timbul rasa haus (polidipsia). Karena glukosa hilang bersama urine, maka pasien mengalami keseimbangan kalori negative dan berat badan berkurang. Rasa lapar yang semakin besar (polifagia) mungkin akan timbul sebagai akibat kehilangan kalori. Pasien mengeluh lelah dan mengantuk .(10)
   Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis DM harus didasarkan atas pemeriksaan konsentrasi glukosa darah. Dalam menentukan diagnosis DM harus diperhatikan asal bahan darah yang diambil dan cara pemeriksaan yang dipakai. Untuk diagnosis, pemeriksaan yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa dengan cara enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Ada perbedaan antara uji diagnostic DM dan pemeriksaan penyaring. Uji diagnostic DM dilakukan pada mereka yang menunjukkan gejala dan tanda DM , sedangkan pemeriksaan penyaring bertujuan untuk mengidentifikasi mereka yang bergejala, yang mempunyai risiko DM.
PERKENI membagi alur diagnosis DM menjadi 2 bagian besar berdasarkan ada tidaknya gejal khas DM. gejala khas DM terdiri dari poliuria, polidipsia,polifagia, dan berat badan menurun tanpa sebab yang jelas, sedangkan gejal tidak khas DM diantaranya lemas, kesemutan, luka yang sulit sembuh, gatal, mata kabur, disfungsi ereksi (pada pria) dan pruritus vulva (wanita). Apabila ditemukan gejal khas DM, pemeriksaan glukosa darah abnormal satu kali saja sudah cukup untuk menegakkan diagnosis, namun apabila tidak ditemukan gejala khas DM, maka diperlukan dua kali pemeriksaan glukosa darah abnormal.
Tabel kriteria diagnosis DM
1.Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu ≥200 mg/dl
Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir
2.atau Gejala klasik DM +glukosa plasma puasa ≥126 mg/dl
Puasa diartikan pasien tidak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam
3.Glukosa plasma 2 jam pada TTGO ≥200 mg/dl
TTGO dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75 gram glukosa anhidrus yang dilarutkan ke dalam air
Pemeriksaan penyaring dikerjakan pada semua individu dewasa dengan Indeks Massa Tubuh (IMT) ≥25 kg/m2 dengan faktor risiko, yaitu aktivitas fisik yang kurang, riwayat keluraga yang menderita DM pada keturunan pertama, masuk ke dalam kelompok etnik risiko tinggi (African American, Latino, Native American, Asian American, Pacific Islander), wanita dengan riwayat melahirkan bayi ≥4 kg, hipertensi. 
    
Penatalaksanaan
               Penatalaksanaan diabetes mellitus didasarkan pada rencana diet, latihan fisik dan pengaturan aktivitas fisik. Selain itu terdapat pula pola pengobatan untuk diabetes mellitus tipe 2 antara lain :
a.       Target Glikemik
Penelitian UKPDS (United Kingdom Prospective Diabetes Study) dan Studi Kumamoto pada pasien DM tipe 2 menunjukkan target glikemik terapi DM tipe 2 yang menghasilkan perbaikan prognosis jangka panjang. Hasil penelitian klinik dan epidemiologik menunjukkan bahwa dengan menurunkan kadar glukosa maka kejadian komplikasi mikrovaskuler dan neuropati akan menurun. Target kadar glukosa darah yang terbaik berdasarkan pemeriksaan harian dan A1C sebagai index glikemia khronik belum diteliti secara sistematik. Tetapi hasil penelitian DCCT (pada pasien diabetes tipe 1) dan UKPDS (pada pasien diabetes tipe 2) mengarahkan gol pencapaian kadar glikemik pada rentang nondiabetik. Akan tetapi pada kedua studi tersebut bahkan pada grup pasien yang mendapat pengobatan intensif ,kadar A1C tidak dapat dipertahankan pada rentang nondiabetik. Studi tersebut mencapai kadar rata-rata A1C ~7% yang merupakan 4SD diatas rata-rata non diabetik. Target glikemik yang paling baru adalah dari ADA (American Diabetes Association) yang dibuat berdasarkan kepraktisan dan projeksi penurunan kejadian komplikasi , yaitu A1C <7%. Konsensus ini menyatakan bahwa kadar A1C ~ 7% harus dianggap sebagai alarm untuk memulai atau mengubah terapi dengan gol A1C < 7%. Para ahli juga menyadari bahwa gol ini mungkin tidak tepat atau tidak praktis untuk pasien tertentu, dan penilaian klinik dengan mempertimbangkan potensi keuntungan dan kerugian dari regimen yang lebih intensif perlu diaplikasikan pada setiap pasien. Faktor-faktor seperti harapan hidup, risiko hipoglikemia dan adanya CVD perlu menjadi pertimbangan pada setiap pasien sebelum memberikan regimen terapi yang lebihintensif.
b.      Metformin
Efek utama metformin adalah menurunkan “hepatic glucose output” dan menurunkan kadar glukosa puasa. Monoterapi dengan metformin dapat menurunkan A1C sebesar ~ 1,5%. Pada umumnya metformin dapat ditolerir oleh pasien. Efek yang tidak diinginkan yang paling sering dikeluhkan adalah keluhan gastrointestinal. Monoterapi metformin jarang disertai dengan hipoglikemia; dan metformin dapat digunakan secara aman tanpa menyebabkan hipoglikemia pada prediabetes. Efek nonglikemik yang penting dari metformin adalah tidak menyebabkan penambahan berat badan atau menyebabkan panurunan berat badan sedikit.Disfungsi ginjal merupakan kontraindikasi untuk pemakaian metformin karena akan meningkatkan risiko asidosis laktik,komplikasi ini jarang bersifat fatal.
c.       Sulfonilurea
Sulfonilurea menurunkan kadar glukosa darah dengan cara meningkatkan sekresi insulin.Dari segi efikasinya, sulfonylurea tidak berbeda dengan metformin, yaitu menurunkan A1C ~ 1,5%. Efek yang tidak diinginkan adalah hipoglikemia yang bisa berlangsung lama dan mengancam hidup. Episode hipoglikemia yang berat lebih sering terjadi pada orang tua. Risiko hipoglikemia lebih besar dengan chlorpropamide dan glibenklamid dibandingkan dengan sulfonylurea generasi kedua yang lain. Sulfonilurea sering menyebabkan penambahan berat badan ~ 2 kg. Kelebihan sulfonylurea dalam memperbaiki kadar glukosa darah sudah maksimal pada setengah dosis maksimal , dan dosis yang lebih tinggi leih baik untuk dihindari.
d.      Glinide
Seperti halnya sulfonylurea, glinide menstimulasi sekresi insulin akan tetapi golongan ini memiliki waktu paruh dalam sirkulasi yang lebih pendek dari pada sulfonylurea dan harus diminum dalam frekuensi yang lebih sering. Golongan glinide dapat merunkan A1C sebesar ~ 1,5 % Risiko peningkatan berat badan pada glinide menyerupai sulfonylurea, akan tetapi risiko hipoglikemia nya lebih kecil.
e.       Penghambat α glukosidase
Penghambat α glukosidase menghambat pemecahan polisakarida menjadi monosakarida. Efek obat ini dapat menyebabkan peningkatan kadar glukosa dalam darah. Monoterapi dengan penghambat α-glukosidase tidak mengakibatkan hipoglikemia. Golongan ini tidak seefektif metformin dan sulfonylurea dalam menurunkan kadar glukosa darah; A1C dapat turun sebesar 0,5 – 0,8 %. Meningkatnya karbohidrat di colon mengakibatkan meningkatnya produksi gas dan keluhan gastrointestinal. Pada penelitian klinik, 25-45% partisipan menghentikan pemakaian obat ini karena efek samping tersebut.
f.       Insulin
Insulin merupakan obat tertua iuntuk diabetes, paling efektif dalam menurunkan kadar glukosa darah. Bila digunakan dalam dosis adekuat, insulin dapat menurunkan setiap kadar A1C sampai mendekati target terapeutik. Tidak seperti obat antihiperglikemik lain, insulin tidak memiliki dosis maximal. Terapi insulin berkaitan dengan peningkatan berat badan dan hipoglikemik. (11)
Pencegahan
Dalam menyelenggarakan upaya pencegahan ini diperlukan satu startegi yang efisien dan efektif untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Seperti juga pada pencegahan penyakit menular, ada 2 macam strategi untuk dijalankan, antara lain :
a.       Pendekatan populasi, yaitu semua upaya yang bertujuan untuk mengubah perilaku masyarakat umum. Yang dimaksud adalah mendidik masyarakat agar menjalankan cara hidup sehat dan menghindari cara hidup berisiko.
b.      Pendekatan individu berisiko tinggi. Semua upaya pencegahan yang dilakukan pada individu yang berisiko untuk menderita diabetes pada suatu saat kelak.
c.       Pencegahan primer.Yang menjadi sasaran pada pola pencegahan primer adalah orang yang belum sakit, artinya mereka yang masih sehat, sehingga cakupannya menjadi sangat luas. Yang bertanggung jawab bukan hanyaprofesi tetapi seluruh masyarakat termasuk pemerintah. Pola pencegahan dapat berupa promosi kesehatan, kampanye pola makan sehat dan yang lainnya.
d.      Pencegahan sekunder. Untuk mencegah terjadinya komplikasi dengan jumlah populasi yang otomatis lebih kecil yaitu pasien diabetes yang sudah diketahui dan sudah berobat.
e.       Pencegahan tersier. Upaya mencegah komplikasi dengan kecacatan.(3)

0 komentar:

Posting Komentar

 

Medicolicious Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea